Bagian I
Sekalipun berada di tengah invasi globalisasi, tetap banyak kebudayaan yang berpandangan bahwa identitas seseorang bergantung pada kelangsungan hubungan manusia dengan tempat tertentu. Banyak peristiwa sejarah yang terus ditulis untuk melegitimasi (atau terkadang mendelegitimasi) kepemilikan alamiah suatu lahan oleh kelompok-kelompok tertentu. Meski begitu, jika dilihat lebih jauh, mau tak mau, sejarah umat manusia merupakan gambaran pergerakan. Melalui pasang surut arus umat manusia di seluruh dunia, kaum yang lebih dimudahkan untuk melakukan perpindahan telah menjadi makmur, namun juga menderita, saat mencoba mencari penghidupan di ‘tanah air’ dengan populasi yang lebih permanen. Sejarah terkadang mencatat pergerakan ini memiliki sifat yang saling menguntungkan dan merupakan bagian dari kemajuan umat manusia secara umum. Terkadang, hal ini juga tampak bagaikan mata air tragedi tak berkesudahan.
Secara garis besar, sejarah meratakan dan mengaburkan implikasi-implikasi nyata dari peristiwa pergeseran dan pergerakan populasi yang sesungguhnya bersifat sangat manusiawi ini. Melalui pengabstrakan pengalaman manusia mengenai perubahan yang sesungguhnya begitu mendasar, dan lebih mengarah pada intisari penggambaran keseluruhan masyarakat, sejarah ditulis secara berjarak dan acapkali mengacuhkan isi yang diwarnai unsur emosional dan spiritual dan tampak yang lebih dalam dan befokus yang mengarahkan atau mengganggu keterikatan manusia di masa yang terus berubah. Konsekuensinya, sekalipun seni tak pernah dapat menggantikan fakta-fakta yang terangkai dengan baik dan argumentasi logis, seringkali kehadirannya menguntungkan bagi kita karena turut mewarnai dimensi-dimensi privat dan personal terkait perubahan besar yang dialami masyarakat dalam kehidupannya.
Kisah mengenai masyarakat Tionghoa di Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana penjelasan ilmiah dunia akademik tidak akan pernah sanggup menggambarkan magnitudo dari apa yang telah dialami masyarakat Nusantara ini selama berabad-abad.[1] Hal ini dapat dipahami mengingat, sebagiannya, disebabkan oleh begitu beragamnya populasi mereka. Kedatangan mereka secara bergelombang melintasi lautan, berbicara dengan dialek beragam, terkadang memang sudah makmur, terkadang luar biasa miskin, terkadang hanya menetap sementara, seringkali berharap bisa memalingkan punggung sepenuhnya dari tanah air mereka, masyarakat beretnis Tionghoa telah masuk di setiap tingkatan dan ranah di kehidupan Indonesia pra-modern, modern, dan kontemporer.
Sebagiannya disebabkan oleh peran-peran etnis Tionghoa sebagai perantara dalam kegiatan ekonomi ekstraktif yang dijalankan oleh VOC, pemerintah kolonial Belanda, dan rezim Orde Baru, beberapa masyarakat Tionghoa yang dianggap makmur dan sukses seringkali digunakan untuk menciptakan dan melanggengkan penyebaran kiasan tentang anggapan ‘Orang Cina’ yang loyal hanya pada kesuksesan materi, sebagai lawan dari karakter pribumi Indonesia yang loyal terhadap satu sama lain dan Tanah Air.[2] Sebagaimana terjadi di banyak tempat dan berulang sepanjang sejarah, peliyanan kelompok etnis semacam ini dipandang bijaksana dalam politik Indonesia, terutama bagi mereka yang menganggap ras dan kepribumian sebagai inti dari identitas nasional.
Bagian II
Pada beberapa bagian, sang seniman, Jayanto Tan, merupakan contoh representatif terhadap ‘Tionghoa Indonesia’, sekalipun ia tentu tidak akan bersedia untuk dikotak-kotakkan ke dalam stereotipe semacam itu. Ia tumbuh melalui awal yang tragis dan sederhana, melalui usaha dan kesempatan yang memungkinkannya untuk melalui kekerasan secara fisik, struktural, maupun simbolis, yang terus menghantui masyarakat Tionghoa Indonesia sekaligus tetap mengakui kontribusi mereka di tengah masyarakat saat ini. Seperti banyak orang Indonesia lainnya, ia melarikan diri dari Indonesia menyusul gonjang-ganjing politik dan kerusuhan berbau SARA yang mengiringi kejatuhan Suharto di tahun 1998. Pada saat itu, ia memutuskan untuk pindah ke Australia bersama diaspora yang bukan sepenuhnya orang China, bukan pula Indonesia.
Di dalam pameran bertajuk Ritual: My Beautiful Curse (Cap Go Meh) Jayanto menggunakan kecantikan dan potensi pangan untuk menarik tali-temali semrawut dari kehidupannya yang terus berpindah dan bercermin melalui mata seorang optimis tentang bagaimana peristiwa-peristiwa ini telah turut membentuk sosoknya saat ini di Australia. Dengan cara mengutak-atik desain ornamen ‘kebahagiaan berganda’ (囍) yang banyak sekali direporduksi, Jayanto membingkai ulang sentimen umum dengan ironi lembut untuk menggambarkan peristiwa ‘perpindahan lokasi ganda’ yang dialaminya sebagai ‘anggota keluarga migran dikali dua.’ Pertama, sebagai bagian dari keluarga dengan garis keturunan Tionghoa campuran di Indonesia, dan sendirian di Australia sebagai bagian dari diaspora keluarganya yang menyebar dari Jerman hingga Taiwan.
Bepergian ke Australia seorang diri mencari cinta dan keamanan, praktik artistik Jayanto selalu berkisar pada tema-tema terkait keakraban dan keramah-tamahan. Ia pertama kali terpapar dengan kesenian pada saat bekerja di café Art Gallery of New South Wales, kemudian didorong oleh teman-teman barunya di Australia untuk mengekspresikan apa yang mereka lihat sebagai kreativitas bawaannya untuk lebih jauh menimba ilmu di the National Art School, di mana ia menamatkan gelar Sarjana (2017) dan Masternya (2019). Sebelumnya ia bekerja sebagai tukang keramik dan memproduksi karya-karya sangat formalistik dalam format serial, Jayanto menganggap seni dan panganan tak terpisahkan, mengingat keduanya adalah pusat proses reproduksi lingkaran sosial keluarga yang direnggut dari kehidupannya saat ia masih belia dan hanya setengah diingatnya kini.
Secara estetik ia dipengaruhi oleh seniman queer asal Kuba, Felix Gonzalez-Torres, sekalipun menghindari pendekatan aktivisme budaya yang diusungnya. Karya Jayanto sangatlah otobiografis, dan baik dari segi produksi dan representasinya di dalam galeri diutarakannya sebagai katarsis. Jayanto meletakkan perjalanan personalnya terkait kehilangan, kerinduan, dan pemulihan yang memberikan penghormatan pada budaya Sydney yang ramah dan penuh penerimaan. Pada saat melakukan hal ini, ia turut merayakan praktik artistiknya, dan kesenian pada umumnya, sebagai kesempatan penuh optimisme untuk menciptakan sosialitas jenis baru yang mampu memperbaiki retakan-retakan ikatan sosial yang dialaminya saat remaja di Sumatera. Sebagai seorang yang selalu positif dan penuh harap, Jayanto melihat fragmentasi bertahun-tahun di dalam keluarganya melalui mata beningnya yang turut membentuk pemahamannya mengenai disposisinya, kecenderungannya, serta potensinya sebagai makhluk sosial.
Pameran Jayanto terasa lebih enak diapresiasi jika dilakukan secara linear dan dibagi ke dalam dua bagian. Cara ini dapat mewakili perjalanannya dari masa kanak-kanak menuju remaja, dari tergantung menjadi independen, dari kebingungan menuju ketangguhan, dari takut menjadi optimis, dari Sumatera ke Sydney. Saat lahir sebagai anak termuda dari 13 anak (satu meninggal) di satu keluarga Sumatra yang terbentuk karena Gerakan anti-komunis baru di China dari sisi ayahnya, dengan sinkretisme generasi Peranakan antara budaya Melayu, Batak dan Minang dari sisi ibunya, Jayanto menyingkap bagaimana kematian ayah yang diikuti banyak kakaknya diselimuti banyak misteri dan tak pernah terungkap ditengah perjalanan diaspora Jayanto menjadi warga Indonesia dan China global, dan membuatnya yang masih berusia 5 tahun terputus dari kehangatan dan cinta keluarga besarnya.
Menyamaratakan keramahan dengan konsumsi ritualistik seperti halnya orang Indonesia dari latar belakang etnis manapun pahami, Jayanto muda melihat peruntungannya ke depan dikaburkan dengan beratnya rasa kehilangan ayah dan mengerucutnya struktur pendukung berbasis kekerabatan sehingga ibunya yang seorang petani kecil mencari nafkah dari hasil penjualan hasil menanamnya di pasar setempat. Karena keluarganya terpecah saat ia masih sangat muda dan ia dipaksa untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa penjelasan, keluarga Jayanto menjelma sosok-sosok hantu. Mereka tidak pernah menampakkan diri sepenuhnya di hadapan Jayanto, baik dalam budaya China maupun Indonesia, dan ini memperkuat perasaannya terhadap perpindahan lokasi (dislokasi) dan terjebak di antara dunia yang berbeda.
Sebagaimana diungkapkan Jayanto, menjadi seorang Peranakan di era Soeharto ia selalu dihibur dengan segala macam makanan yang disiapkan Ibunya dan perayaan Imlek sederhana. Ingatan yang paling berkesan untuknya adalah perayaan Cap Go Meh, Festival Lampion (Spring Lantern Festival) yang diadakan pada hari ke-15 selepas Hari Raya Imlek. Pada saat bersamaan, ia menyadari bagaimana tegangan sosial dan budaya yang menghalang-halanginya untuk sepenuhnya merangkul identitas etnis secara menyeluruh, padahal sudah begitu jelas di seluruh Indonesia nyata-nyatanya perayaan ritual rutin terjadi di saat itu dan fokus pada persiapan konsumsi makanan. Menjadi orang Tionghoa di era Soeharto berarti identitasnya kurang tetap dan sering dipertanyakan.
Pada usia pertengahan remajanya Jayanto sudah cukup tua untuk mengikuti jalur diasporis kakak-kakaknya. Jalan ini membuatnya melalui beragam jenis karir di Jakarta dan Bali untuk mencari makan dan cinta namun hasilnya selalu kurang memuaskan hingga akhirnya ia memutuskan untuk menempuh perjalan yang berbelit-belit hingga sampai ke Sydney. Hanya di Sydney ia dapat menemukan kebebasan yang ia idam-idamkan sejak lama. Yang paling penting dari ini semua adalah kebebasan untuk mengeksplorasi, membentuk, dan menampilkan identitas seksual, kreatif, dan intelektualnya melalui cara-cara yang belum banyak dipikirkan di Indonesia.
Meski begitu, sungguh keliru jika membayangkan Sydney di awal abad ke-21laksana Mardi Gras tak berkesudahan bagi seorang migran gay untuk menemukan pijakannya. Pada dekade pertamanya, pengalaman Jayanto diwarnai upaya bertahan hidup dan mengais-ngais rezeki. Di hari-hari gelap itu, bahkan sampai sekarang, ia tidak menemukan dukungan dari komunitas queer atau orang Indonesia di Sydney. Alih-alih, rasa hormatnya perlahan muncul pada komunitas artistik multi-etnis di kota, di mana ia turut terinspirasi oleh seniman Indonesia lain yang telah sukses menjadi seniman Australia-Indonesia antara lain seperti Jumaadi dan Leyla Stevens.
Saat bertanya padanya perihal pembelajaran yang ia ambil dari seluruh perjalanan ini, Jayanto bersikeras bahwa jalan mencari penghiburan melalui identitas satu-dimensi, entah itu secara seksual atau rasial, merupakan jalanan penuh aral melintang bagi individu yang mengalami perpindahan lokasi. Untuk menjadi sosok dengan identitas tunggal juga berarti berpotensi menyangkal banyak koneksi penuh arti lainnya ke dalam dunia yang lebih luas dan kaya. Bagi Jayanto, indahnya seni dan makanan adalah keduanya berpotensi menciptakan konteks sosial yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan yang pada situasi berbeda dapat memaksa masyarakat menjadi tercerai-berai atau mengutuk individu ke dalam kesendirian. Berpartisipasi dalam aktivitas seni dapat menyatukan kita sebagaimana berbagi separuh roti, berbagi garam, makan nasi, membuka tong, saling mengangkat gelas, dan banyak sekali ritual yang digunakan beragam budaya lain untuk menghubungkan satu dan lainnya melalui makanan.
[1] Masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa selama ini mendapatkan beragam label baik di masa kolonial dan poskolonial di Nusantara. Saat ini, istilah yang dianggap tepat secara politis adalah Tionghoa dibandingkan Orang Cina yang secara harfiah lebih dekat dan sampai sekarang masih banyak digunakan, namun jelas-jelas berkonotasi dengan otherness atau yang liyan, dan dianggap tidak punya legitimasi sebagai orang Indonesia.
[2] VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Perusahaan Belanda Hindia Timur (1602-1800) merupakan entitas di mana bayi merah kapitalisme transglobal tumbuh berkembang untuk pertama kalinya. Perusahaan perdagangan swasta yang direstui negara, mengandalkan lisensi, kekuatan senjata, dan kolaborasi lokal dengan para pemimpin adat untuk mengekstraksi sumber daya di seluruh India dan Asia. Pemerintah Belanda mengambil kendali Hindia Timur pada tahun 1800 dan mengganti orientasi perdagangan dengan penaklukan politik dan militer langsung di wilayah tersebut.